Kemarau di Gunung Kidul (DONGENG)
Kemarau di Gunung Kidul
Penulis:
Fransisca Emilia
Dongeng Anak
Terpilih Kategori Air Minum -
Lomba Menulis
Dongeng Anak KSAN 2015
Hari ini sekolah
Elang libur. Elang ikut ayahnya yang akan meliput berita di Gunungkidul,
Yogyakarta. Ayah Elang seorang wartawan.
“Di sana sering
kekurangan air ya, Yah? Aku pernah baca di majalah,” kata Elang.
Ayah mengangguk.
“Sebagian besar wilayah Gunungkidul merupakan pegunungan karst yang tersusun
dari batuan kapur berpori. Akibatnya, air selalu merembes dan menghilang ke
dalam tanah. Permukaannya kering, tapi jauh di bawah tanah kaya akan air.”
“Lihatlah sekitarmu, Elang,” kata ayahnya lagi.
Dari kaca mobil,
Elang memandang sekelilingnya. Pohon-pohon meranggas dan rerumputan mengering.
Saat memasuki perkampungan, yang terlihat hanya tanah cokelat yang pecah-pecah.
Saat sampai
tujuan, ayah memarkir mobil di depan balai desa. Tak jauh dari situ, kerumunan
warga tengah mengantre di sekeliling mobil tangki air. Mereka membawa jeriken,
ember, dan berbagai wadah untuk menampung air. Ayah lalu mewawancarai kepala
desa dan beberapa warga.
“Telaga-telaga
sudah mengering pada awal kemarau. Begitu pula bak-bak penampungan air dan
kolam-kolam yang kami buat, hanya cukup untuk satu bulan,” kata Pak Kepala
Desa.
Elang memandang
kerumunan warga dengan sedih. Ia lalu melihat seorang gadis kecil yang baru
selesai mengantre air. Jalannya terengah-engah.
Elang
mendekatinya. “Sini, aku bantu.”
Mata bulat gadis
kecil itu berbinar. Elang lalu memperkenalkan dirinya. Gadis itu bernama
Gendis.
“Kenapa mengambil
air sendiri?” tanya Elang perlahan
“Simbah sedang
membuat gaplek. Bapak dan simbok bekerja di Jakarta,” jawab Gendis.
“Air ini untuk apa? Mandi?” tanya Elang
lagi.
“Musim kemarau begini aku jarang mandi. Beli air untuk
minum dan masak saja.”
Elang tak menyangka kalau ada daerah yang mengalami
kekeringan separah itu.
“Hei, dari mana? Ayo pulang,” kata ayah membuyarkan
lamunan Elang.
“Yah, bukankah kata Ayah di dalam tanah sana kaya air?
Apa tidak bisa dimanfaatkan?” tanya Elang.
“Bisa. Tapi, dalamnya ratusan meter. Perlu biaya
sangat besar. Pemerintah bekerja sama dengan Jerman sudah membangun bendungan
di Gua Bribin. Airnya dipompa ke atas!”
“Terus, kenapa masih kekurangan air?”
“Airnya sudah bisa memenuhi kebutuhan warga di
beberapa kecamatan. Tapi belum optimal. Mudah-mudahan dengan perkembangan
teknologi, air bawah tanah bisa dimanfaatkan lebih baik. Dan Gunungkidul tidak
kekurangan air lagi seperti sekarang.”
”Kita
beruntung ya, Yah, tidak pernah kekurangan air,” kata Elang kemudian. Ayahnya
pun mengangguk. Perjalanan bersama ayah kali ini, sungguh memberikan pengalaman
baru buat Elang.
Berapa paragraf ya?
ReplyDelete